Tulisan Terbaru

Wawasan baru maupun tips

Mengapa Facebook Gagal Membangun Metaverse?

Setelah sebelumnya berambisi untuk membuat dunia digital bernama Metaverse, Perusahaan Mark Zuckerberg itu dikabarkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Sebanyak lebih dari 11 ribu atau 13% dari 87 ribu pegawai induk perusahaan Facebook itu akan dirumahkan.

“Hari ini saya membagikan beberapa perubahan tersulit yang telah kami buat dalam sejarah Meta. Saya telah memutuskan untuk mengurangi ukuran tim kami sekitar 13% dan membiarkan lebih dari 11.000 karyawan kami yang berbakat pergi.”

Sebelumnya Zuckerberg membayangkan Metaverse sebagai dunia baru, tempat di mana orang akan menghabiskan waktu mereka. Tetapi dengan berakhirnya pandemi, krisis ekonomi, resesi, dan perang dunia, membuat orang tak peduli dengan perusahaannya. Orang-orang mulai meninggalkan dunia digital dan lebih banyak menghabiskan waktu mereka bersama keluarga.

Sebelumnya ide untuk membangun dunia digital tampak seperti sangat menjanjikan. Pada 22 November tahun lalu misalnya Niantic, platform augmented yang mengembangkan game seperti Pokémon GO, baru saja mendapat suntikan $300 juta dolar dari Coatue. Perusahaan itu tengah mengembangkan teknologi metaverse. Suntikan dana itu membuat nilai perusahaan itu naik menjadi $9 miliar.

Pengantar

Metaverse sendiri sebenarnya sudah ada sejak awal 90an. Konsepnya juga berkembang seiring zaman, tapi titik tekannya sama, bagaimana membangun dunia virtual yang mirip dengan dunia yang kita jalani saat ini.

Metaverse jadi makin canggih dan berkembang karena perkembangan teknologi internet dan sosial media yang hadir di antara masyarakat. Kita akan hidup di dunia virtual yang sudah pasti akan mengubah cara kita memanfaatkan internet

"Metaverse adalah sebuah ruang virtual yang dapat digunakan bersama, di mana ada dunia baru di mana para pengguna direpresentasikan melalui avatar untuk melakukan aktivitas, berinteraksi layaknya di dunia nyata," jelas kata Group Chief Innovation Officer & Co-Founder WIR Group, Jeffrey Budiman,

Metaverse adalah produk dan ide dari Zuckerberg yang dibuat sendiri olehnya. Artinya produk ini dibangun tanpa melalui mekanisme yang tepat. Misalnya riset produk, analisis kebutuhan pasar, dan proses pembuatannya bahkan melewati protes pemilik saham, karena Zuckerberg sendiri adalah pemilik mayoritas saham.

Monopoli dan kekuasaan tanpa kontrol dari sesama pekerja/pemilik saham, membuat Zuckerberg bisa melakukan apapun yang ia mau. Hasilnya adalah bencana bernilai 10 miliar dolar dan terus bertambah. Sebagai perusahaan yang besar, Facebook tentu memiliki ahli ekonomi, strategi, bisnis, hingga perencanaan yang bisa mengingatkan bahwa Metaverse belum siap secara bisnis.

Tetapi keberadaan Zuckerberg yang menjadi pemilik saham mayoritas membuat semua keraguan dan protes dihapuskan. Hasilnya ia membuat apapun yang dia mau tanpa peduli suara-suara dari pekerjanya, dewan direksi, dan sesama pemilik saham. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi dalam koperasi atau perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh pekerja.

Kegagalan Alat

Kegagalan Meta ini sebenarnya sudah banyak diprediksi. Dengan menyuntikkan dana sebesar 10 miliar dolar, Metaverse adalah proyek ambisius yang tidak tepat guna. Janji Meta secara luas mencakup dua bidang: realitas virtual dan realitas digital, tapi tak banyak orang yang tertarik karena tak ada yang baru dan tak ada yang bisa membuat orang mau mendaftar di dunia ini.

Untuk menggunakan Metaverse, seseorang harus memiliki perangkat keras yang digunakan untuk masuk ke dunia digital. Masalahnya Meta bukanlah perusahaan perangkat keras, atau perusahaan dengan sejarah sukses meluncurkan perangkat tertentu sendiri, mereka gagal menyediakan produk bermutu dan juga alat yang mudah diakses.

Usaha Meta untuk membangun virtual reality juga ditambah dengan mengakuisisi Oculus perusahaan yang sangat populer dan memimpin penjualan global headset VR. Diharapkan mereka bisa menciptakan ekosistem sendiri, VR yang disediakan Meta, dan Oculus yang menjual alatnya.

Tetapi penjualan VR juga tidak meningkat, selain mahal, penggunaan alat VR melelahkan dan jika digunakan berjam-jam memiliki efek samping. Selain itu elemen game yang membuat VR menarik, belum secara masif diimplementasikan di Metaverse, akibatnya makin sedikit orang yang tertarik untuk bergabung dengan dunia buatan Zuckerberg.

Alat VR yang dibuat oleh Zuckerberg tak akan bisa menggantikan betapa mudahnya ponsel atau bergunanya laptop. Tentu VR bisa membuat kita melihat dunia digital, tapi sejauh ini laptop dan ponsel bisa membuat kita membuka sosial media, belanja, hingga menonton film. Kemudahan teknologi ini yang membuat VR sangat tidak relevan.

Infrastruktur VR juga membutuhkan alat yang tak bisa digunakan di manapun. Berbeda dnegan ponsel dan laptop yang cuma membutuhkan koneksi internet. VR butuh ruangan khusus, tentu bisa menggunakan alat ini di taman, tapi akan sangat aneh jika menggunakan VR di moda transportasi publik seperti kereta.

Kegagalan ini sebenarnya merupakan ramalan dari visi kapitalistik Zuckerberg yang melihat potensi Metaverse hanya dari bisnis. Zuckerberg membayangkan dunia akan terus terkukung oleh wabah, kita tinggal di rumah, dan tak bisa kemana-mana. Metaverse punya pesona di situ, tapi tentu bukan ini yang dicari oleh masyarakat.

Visi yang kopong

Sementara Zuckerberg mengklaim bahwa Metaverse adalah dunia baru, tapi kegagalan Facebook menjaga data dan skandal yang berulang kali terjadi membuat kita waspada. Zuckerberg terbukti hanya peduli pada uang dan tak peduli pada kebocoran data dan bagaimana data tersebut digunakan untuk kepentingan orang yang jahat.

Metaverse yang dianggap akan jadi platform masa depan juga menawarkan harga sangat mahal untuk aplikasi yang dikembangkannya. Semakin sedikit orang yang tertarik untuk bergabung dan mengembangkan ide mereka. Sejak awal visi yang ditawarkan sekadar dunia baru, tapi tanpa nilai, dan tanpa guna.

Kemajuan teknologi semestinya digunakan untuk memperbaiki mutu hidup manusia. Sementara Zuckerberg ingin membebani kita dengan teknologi, menghabiskan puluhan miliar dolar, hanya untuk menghabiskan waktu di metaverse. Bermain tapi tidak memberikan value apapun pada penggunanya.

Sejauh ini Facebook adalah satu-satunya produk Zuckerberg yang sukses. Usaha lain, seperti aplikasi dan perangkat keras yang mereka buat sejauh ini, selalu gagal. Alih-alih bersaing, ia justru membeli Instagram atau WhatsApp. Zuckerberg tak membuat inivasi baru, malah mengubah lanskap Instagram dengan video untuk menarik audiens yang lebih muda dari TikTok.

Usahanya ke e-commerce di Facebook atau Instagram gagal memberikan hasil yang signifikan. Dengan kata lain, di luar konsep asli menghubungkan orang dan memberi mereka kesempatan berjejaring, Zuckerberg gagal. Realitas virtual yang ia tawarkan adalah kegagalannya yang lain dan perlu kita rayakan mengingat betapa bengisnya bisnis media sosial yang ia buat.

Refactory

Refactory adalah pengaktif teknologi digital di Indonesia. Sejak didirikan pada 2015 di Surabaya dan membuka Bootcamp kelas pertama pada 2017 di Bandung, Refactory telah berkembang melebihi Bootcamp dengan menambah berbagai solusi untuk memberdayakan anak-anak muda Indonesia melalui pemrograman, serta membantu perusahaan di tingkat nasional maupun mancanegara untuk merealisasikan potensi mereka.

Kantor Utama di Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,8 Sleman, DI Yogyakarta 55581 - Indonesia

© 2017-2024 PT. BIXBOX TEKNOLOGI PERKASA. All rights reserved.