Tulisan Terbaru

Wawasan baru maupun tips

Pengemis Virtual, Menjual Iba di Tiktok

Sosial media adalah pedang bermata dua. Ia memberikan akses terhadap berbagai informasi secara real time, memberikan hiburan, alat komunikasi. Tapi di sisi lain, sosial media juga menjadi sumber masalah. Mulai dari kebohongan, persebaran informasi yang tidak benar, propaganda, hingga memunculkan sisi gelap manusia.

Sosial media di Indonesia belakangan dikejutkan dengan viral pengemis online. Video yang muncul di Tiktok menampilkan orang tua mengguyur diri sendiri untuk mendapatkan hadiah alias gift di TikTok. Perusahaan media sosial asal Cina ini meminta pengguna untuk melaporkan konten yang dianggap melanggar.

Perwakilan TikTok Indonesia menyatakan prihatin atas viralnya konten pengemis online, terutama yang menggambarkan orang tua mengguyur diri sendiri hingga menggigil. Ia berharap pengguna lain tidak meniru hal ini. "Keamanan dan keselamatan komunitas TikTok adalah prioritas utama,” kata perwakilan TikTok kepada Katadata.co.id.

Meski demikian ini bukan satu-satunya problem. Beberapa waktu lalu Indonesia juga digemparkan dengan video mesum viral dan ditangkapnya seleb media sosial karena menayangkan video porno secara live. Ini adalah hal yang tak baik, kita akan menemukan banyak keburukan dan hal yang sama mempengaruhi cara kita hidup.

Sejauh ini banyak riset yang menunjukkan bahwa konsumsi media sosial secara aktif akan mempengaruhi otak. Bahkan setelah kita berhenti membuka Tiktok atau Instagram. Residu perhatian itulah yang entah bagaimana mengurangi kapasitas kognitif kita untuk menerima hal-hal yang lebih penting. Secara umum, media sosial membuat kita jadi lebih bodoh.

Dalam studi Stanford tahun 2009, Clifford Nass et al. mengungkapkan bagaimana pengalihan perhatian terus-menerus secara online memiliki efek negatif yang bertahan lama pada otak. Dia mencatat bagaimana pikiran multi task pada dasarnya berada dalam keadaan mental yang kacau.

Lebih buruk lagi, otak yang mengalami kecanduan media sosial akan terprogram untuk terus menerus membuka ponsel. Ini yang menyebabkan kita sesekali membuka medsos padahal sudah membukanya beberapa waktu lalu. Selain membuat bodoh, media sosial juga mereduksi kemampuan kita untuk memiliki konsentrasi penuh terhadap satu hal. Media sosial akan menjadikan kita lambat memahami banyak hal

Meskipun kita merasa ini mustahil, kita kerap punya pikiran kalau kita mampu menguasai diri. Bisa membuka medsos sambil bekerja. Tapi membuka medsos dan bekerja bukan hal yang baik. Ada semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa kinerja menurun ketika individu mencoba melakukan dua atau lebih hal sekaligus. Media sosial di satu sisi akan membuat kualitas kerja kita memburuk.

Selain itu, multitasking bekerja sambil membuka medsos lebih sering tidak membuat kita lebih baik. Orang yang berganti tugas kurang mampu mengalokasikan perhatian dan juga terlalu rentan terhadap gangguan. Di dunia yang dipenuhi dengan notifikasi bisa berkonsentrasi dan menemukan fokus saat bekerja menjadi komoditas yang berharga.

Media sosial juga jadi alat propaganda yang mengerikan. Jika anda menonton film dokumenter Jihad Selfie yang dibuat oleh Noor Huda Ismail, anda akan tahu bagaimana perekrutan ISIS bekerja. Mereka mulai dari sosial media, masuk ke anak-anak muda, memberikan mereka pemahaman tentang citra ideal islam versi mereka, lantas ketika si anak muda tadi tertarik, mereka diminta berbaiat menjadi anggota ISIS.

Berdasarkan laporan dari Brookings Institute pada Desember 2014 ada 46.000 akun twitter yang berafiliasi dan mendukung ISIS. Tentu saja tidak semua akun itu hidup dan aktif, namun jika 10 persen saja aktif, bayangkan berapa banyak propaganda kebencian yang dilancarkan?

Mantan anggota keamanan nasional Amerika Serikat Hillary Mann Leverett pada Februari 2015 menyebut bahwa ISIS menggunakan setiap platform media sosial yang ada untuk melancarkan propaganda dan merekrut anggota baru. ISIS setiap harinya mengirimkan 90.000 pesan digital di akun media sosial mereka. Termasuk tweet, video di youtube, postingan di facebook, blog dan sejenisnya.

Shou Zi Chew, CEO Tiktok, melarang anaknya untuk memiliki aplikasi Tiktok. Menurutnya perlu ada kendali dan waktu konsumsi bagi remaja. Jika CEO Tiktok saja melarang anaknya untuk memiliki aplikasi ini, mengapa kita terobsesi untuk memiliki ratusan ribu view dan mengemis gift di Tiktok?

Kita mesti menyadari media sosial baik Tiktok atau Instagram bukanlah bagian penting dari hidup. Tunduk dan menghabiskan waktu berjam-jam di aplikasi ini merupakan hal yang salah. Dalam sebuah riset disebut rata-rata satu pengguna Tiktok memiliki durasi online hingga 3,5 jam sehari. Artinya mereka membuang banyak waktu produktif hanya untuk menatap layar.

Apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi ketergantungan dengan media sosial?

Disiplin dalam bekerja dan atur perhatian kita. Matikan notifikasi dari situs atau aplikasi yang terus mengganggu dan menghabiskan cadangan perhatian. Tetapkan jadwal bagi diri sendiri untuk melakukan pekerjaan tanpa gangguan. Jika bekerja dengan tim, ada baiknya mengumumkan waktu untuk fokus bekerja. Misalnya, kamu dapat menjadikan jam 7 sampai 8 pagi untuk membuka email, lalu selanjutnya fokus bekerja. Hal ini akan membantu anda disiplin dan fokus.

Sumber: https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/63c7b61ecf55f/viral-pengemis-online-guyur-air-tiktok-minta-pengguna-lapor

Refactory

Refactory adalah pengaktif teknologi digital di Indonesia. Sejak didirikan pada 2015 di Surabaya dan membuka Bootcamp kelas pertama pada 2017 di Bandung, Refactory telah berkembang melebihi Bootcamp dengan menambah berbagai solusi untuk memberdayakan anak-anak muda Indonesia melalui pemrograman, serta membantu perusahaan di tingkat nasional maupun mancanegara untuk merealisasikan potensi mereka.

Kantor Utama di Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,8 Sleman, DI Yogyakarta 55581 - Indonesia

© 2017-2024 PT. BIXBOX TEKNOLOGI PERKASA. All rights reserved.