Tulisan Terbaru

Wawasan baru maupun tips

Belajar Dari Gitanjali Rao, Bagaimana Seharusnya Kita Mengembangkan Pemrograman

Gitanjali Rao menjadi orang pertama yang terpilih sebagai Kid of The Year versi majalah Time. Jika sebelumnya Time selalu memilih "People of The Year" untuk mengapresiasi sosok yang mempengaruhi dunia dalam setahun, kali ini majalah itu memilih anak-anak yang dianggap punya dampak positif terhadap peradaban.

Anda bisa menonton siapa Gitanjali Rao dalam video pendek yang dibuat Time. Ia mengaku sejak kecil telah jatuh cinta pada sains, terutama kimia. Pada usia belia, paman Gitanjali memberinya hadiah science kit, peralatan ilmuwan sederhana untuk mempelajari ilmu-ilmu kimia dasar. Keingintahuan Gitanjali terpantik dan ia jatuh cinta pada ilmu pengetahuan.

Pada usia 10 tahun Gitanjali memberi tahu orang tuanya jika ia ingin belajar carbon nanotube sensor technology di Denver Water quality research lab. Ibunya merespon dengan kegagapan, tidak paham apa yang dimaksud anaknya. Secara sederhana carbon nanotube sensor technology (berdasar penjelasan dari Time) adalah molekul silinder yang terbuat dari atom karbon yang sangat sensitif terhadap perubahan kimia. Ini menjadi dasar penelitian Gitanjali, nanotube sensor technology akan sangat baik digunakan untuk mendeteksi produk produk kimia dalam air.

Inspirasi temuan Gitanjali berawal dari problem pengelolaan air di Flint, Michigan, pada 2012-2017. Setidaknya 12.000 anak-anak terpapar timbal dan berpotensi keracunan akibat konsumsi air berbahaya. Saat itu untuk memeriksa kandungan air, seseorang mesti membayar sangat mahal dan menunggu waktu lama untuk bisa mengetahui air yang diminum berbahaya atau tidak. Dari situ Gitanjali mengembangkan alat pendeteksi timbal dalam air.

Tidak hanya mengembangkan alat, Gitanjali yang belajar pemrograman dan coding memanfaatkan pengetahuannya pada 2017 untuk membuat aplikasi sederhana mendeteksi kandungan timbal dalam air memanfaatkan nanotube sensor dan bluetooth. Pemeriksaan ini akan jauh lebih murah, lebih efektif, dan lebih cepat untuk mendeteksi kandungan racun dalam air. Temuan ini membuatnya terpilih menjadi pemenang Discovery Education 3M Young Scientist Challenge.

Pada 2020 Gitanjali mengembangkan Kindly, aplikasi yang bisa mendeteksi cyberbullying. Dalam wawancara bersama Angelina Jolie, Gitanjali menyebut ia mengembangkan pemrograman berdasarkan teknologi kecerdasan buatan. Ia memulai aplikasi ini dengan memasukkan kata-kata kasar yang dianggap perisakan, dalam code. Mesin yang dibuatnya akan mengenali dan mengidentifikasi struktur kalimat yang ada dan memutuskan apakah itu cyber bully atau tidak. Mesin ini akan terus belajar dan mengembangkan kata-kata atau struktur kalimat untuk direkam dalam database sebagai cyber bullying.

Aplikasi ini menargetkan pengguna, jadi jika kamu memanfaatkan twitter atau facebook, Kindly akan mendeteksi apakah kalimat yang kamu gunakan berpotensi cyberbully atau tidak. Tujuan dari aplikasi ini bukan menghukum atau menghakimi, tapi melakukan pencegahan. Di sini kamu akan diberikan kesempatan untuk berpikir ulang, apakah kalimat yang kamu pakai jahat atau tidak.

"You type in a word or phrase, and it’s able to pick it up if it’s bullying, and it gives you the option to edit it or send it the way it is. The goal is not to punish. As a teenager, I know teenagers tend to lash out sometimes. Instead, it gives you the chance to rethink what you’re saying so that you know what to do next time around," katanya.

Sebagai remaja, Gitanjali menyadari bahwa ada problem di media sosial. Perisakan dan problem kohesi sosial. Aplikasi Kindly berusaha menjadi pengingat diri yang baik. Selama ini, menurutnya, anak muda tak suka diajari dan diingatkan oleh orang tua. Tapi mereka tertarik untuk terus belajar dan berkembang, dengan memanfaatkan aplikasi Kindly, seorang anak bisa belajar sendiri apakah ia punya potensi merisak atau tidak.

Setiap temuan yang dibuat oleh Gitanjali selalu berawal dari problem. Ia mencari solusi dari masalah yang ada. Mottonya adalah solusi praktis untuk masalah nyata. Ia percaya bahwa teknologi informasi, seperti pemrograman dan kecerdasan buatan, akan menjadi solusi untuk banyak masalah manusia. Ini mengapa belajar pemrograman menjadi penting. Sejak lama saya sebenarnya ingin belajar pemrograman dan memanfaatkannya untuk masalah sosial.

Kami di Refactory memiliki visi tentang bagaimana memanfaatkan teknologi informasi dan demografi tenaga kerja Indonesia saat ini. CEO kami, Taufan Adhitya, menyebut bahwa etos kerja dan kualitas tenaga kerja Indonesia dalam bidang teknologi informasi tak kalah dengan India dan Rusia.

Saat ini ekosistem digital membutuhkan banyak pekerja, tapi jumlah tenaga yang ada sangat sedikit. Ada banyak sekolah atau kursus pemrograman yang fokus pada pelatihan tenaga kerja baru. Problemnya, menurut mas Taufan, mereka yang ada jarang sekali diberi problem-problem real. Sekedar menguasai dasar tapi tidak paham tugas yang ada.

Kami menemukan banyak lulusan jurusan teknologi informasi di Indonesia yang tak langsung diserap pasar. Di Refactory, beberapa lulusan ini mesti diinkubasi dulu selama tiga bulan sebelum akhirnya bisa siap bekerja. Ada problem antara lembaga pendidikan dan kebutuhan industri. Kebutuhan terus meningkat tapi yang ada mutunya belum sesuai.

Tahun ini kami berusaha fokus mengembangkan program Intensive Pairing yang berpusat pada pengembangan skill programer. Tujuannya, menyerap potensi tenaga kerja yang ada saat ini, memberikan mereka keterampilan yang dibutuhkan, bermitra secara setara dan bekerja dengan klien-klien profesional.

Saat ini kami berharap makin banyak talenta yang bisa diserap, tidak hanya diserap, tapi juga memiliki keterampilan yang tepat guna. Jika mereka mau belajar dan tekun untuk mencari peluang lain, belajar tentang ilmu teknologi informasi seperti pemrograman bisa jadi solusi. Selain kebutuhannya terus meningkat, cabang keilmuannya terus berkembang, potensi ekosistem digital Indonesia sangat besar.

Kami di Refactory percaya seseorang tak perlu malu atau takut belajar pemrograman. Ada banyak kasus di mana orang yang tak tahu sama sekali bisa menguasai ilmu ini secara bertahap. Kuncinya komitmen, kemauan belajar, latihan dengan problem real, mentor yang berkualitas, dan ekosistem yang sehat. Refactory selama ini menemukan yang membuat seseorang berkualitas adalah kemampuannya menghadapi masalah dan belajar mengembangkan solusi.

Sumber: https://time.com/5916772/kid-of-the-year-2020/

Refactory

Refactory adalah pengaktif teknologi digital di Indonesia. Sejak didirikan pada 2015 di Surabaya dan membuka Bootcamp kelas pertama pada 2017 di Bandung, Refactory telah berkembang melebihi Bootcamp dengan menambah berbagai solusi untuk memberdayakan anak-anak muda Indonesia melalui pemrograman, serta membantu perusahaan di tingkat nasional maupun mancanegara untuk merealisasikan potensi mereka.

Kantor Utama di Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,8 Sleman, DI Yogyakarta 55581 - Indonesia

© 2017-2024 PT. BIXBOX TEKNOLOGI PERKASA. All rights reserved.