Tulisan Terbaru
Wawasan baru maupun tips
Chat GPT dan AI Apakah Ancaman Masa Depan?
Plagiarisme adalah perilaku buruk dimana seseorang meniru, mencuri, atau mengambil suatu teks, pengetahuan, benda, untuk kepentingannya sendiri. Dalam dunia akademis, plagiarisme adalah dosa tertinggi karena tidak menghargai kerja keras orang lain dan mengambil jalan pintas untuk pengetahuan yang tidak ia dapatkan sendiri. Tapi mengapa plagiarisme buruk?
Plagiarisme, tidak etis karena merupakan bentuk pencurian dan penghinaan terhadap proses belajar. Dengan mengambil ide dan kata-kata orang lain dan berpura-pura itu milik kita, telah terjadi mencuri kekayaan intelektual orang lain. Plagiarisme membatasi pemikiran, penelitian, dan pemikiran kritis yang terlibat dalam pengembangan makalah atau laporan asli. Ini berdampak negatif pada keseluruhan pengalaman pendidikan dan pertumbuhan seorang mahasiswa.
Saat ini teknologi telah menjadi ancaman bagi dunia pendidikan, dimana pencurian ide dan plagiasi makin mudah dilakukan. Misalnya dari penugasan dalam penulisan essay. Banyak mahasiswa diketahui memanfaatkan wikipedia atau blog untuk mengerjakan tugas. Hal ini kemudian mendorong dosen untuk melakukan pembatasan plagiasi. Namun hal ini tidak cukup mengingat meningkatnya jumlah plagiasi tugas atau skripsi yang dibuat.
Tidak berhenti pada blog atau wikipedia, kini para mahasiswa mengerjakan tugas memanfaatkan kecerdasan buatan. Ini mengapa banyak universitas didesak untuk melindungi dari penggunaan kecerdasan buatan untuk menulis esai setelah munculnya chatbot canggih yang dapat meniru karya akademis. Munculnya teknologi chatbot kini malah membuat para dosen jadi meragukan mutu para peserta didiknya.
Saat ini yang dibutuhkan adalah cara yang lebih baik untuk mengevaluasi siswa di masa depan. Para dosen dan universitas mengusulkan agar para siswa menulis tangan atau menggunakan mesin ketik untuk menghindari kecurangan. Hal ini makin mengkokohkan alasan bahwa teknologi kecerdasan buatan, di tangan orang yang salah, akan membuat masyarakat jadi malas.
Saat ini yang menjadi ancaman paling besar adalah ChatGPT, sebuah program yang dibuat oleh perusahaan OpenAI yang didukung Microsoft yang dapat membentuk argumen dan menulis esai yang meyakinkan. Teknologi telah menimbulkan kekhawatiran luas bahwa siswa akan menggunakan perangkat lunak untuk menipu tugas tertulis.
Hal serupa juga ditemui di bidang jurnalisme dan sastra. Di mana kecerdasan buatan bisa membuat karya yang bagus dan menyerupai karya sastrawan atau penulis opini yang mumpuni. Akademisi, konsultan pendidikan tinggi, dan ilmuwan kognitif di seluruh dunia telah menyarankan universitas mengembangkan cara penilaian baru sebagai tanggapan terhadap ancaman terhadap integritas akademik yang ditimbulkan oleh AI.
ChatGPT adalah teknologi kecerdasan buatan yang memanfaatkan bahasa dan dilatih menggunakan jutaan titik data, termasuk teks dan buku. Teknologi ini menghasilkan tulisan yang meyakinkan dan koheren untuk pertanyaan dengan memprediksi kata masuk akal berikutnya dalam urutan kata, tetapi seringkali jawabannya tidak akurat dan memerlukan pemeriksaan fakta.
Hal ini bisa jadi hal yang buruk, misalnya saat kamu diminta menulis esai untuk masuk perguruan tinggi, kamu akan bisa diterima jika jawabannya memukau. Tidak hanya itu banyak universitas yang mengeluhkan karena esai yang ditulis oleh ChatGPT dapat menghasilkan referensi palsu. Minggu ini, sekitar 130 perwakilan universitas menghadiri seminar JISC, sebuah badan amal yang berbasis di Inggris yang menyarankan pendidikan tinggi tentang teknologi.
Kami di Refactory percaya bahwa teknologi harus dikembangkan untuk kepentingan bersama. Teknologi ada untuk membantu pengembangan manusia dan bukan sebaliknya. Meski teknologi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan penulisan dan kreativitas. Aksesibilitas yang luas dari alat ini, yang gratis untuk umum, menimbulkan kekhawatiran tentang apakah membuat esai menjadi tak penting karena bisa dibuat mesin.
Saat ini banyak insinyur dan programmer yang berusaha mengatasi hal ini. Salah satunya adalah Turnitin, perangkat lunak yang digunakan oleh sekitar 16.000 sistem sekolah secara global untuk mendeteksi pekerjaan yang dijiplak dan dapat mengidentifikasi beberapa jenis tulisan yang dibantu AI. Perusahaan yang berbasis di AS sedang mengembangkan alat untuk memandu pendidik dalam menilai pekerjaan dengan "jejak plagiasi" itu.
Sebuah studi pada tahun 2020 oleh Universitas Rutgers menyarankan bahwa siswa yang menjawab pekerjaan rumah mereka dengan Google mendapatkan nilai ujian yang lebih rendah. Para akademisi telah memperingatkan bahwa pendidikan akan merosot tajam mutunya jika kita membiarkan penjiplakan.
Ini mengapa kami di Refactory menerapkan sistem pairing dan evaluasi terus menerus. Seseorang tak boleh hanya menjiplak kode, menuliskannya, dan menganggap tugas kodingnya selesai. Ia harus bisa memahami konsep, alur, dan mengapa sebuah kode bisa ditulis. Pemahaman, daripada hafalan, adalah hal yang penting.
Dalam praktiknya Refactory mengembangkan piramida pendidikan. Di mana seorang siswa harus praktik secara langsung apa yang ia pelajari. Lantas setelah ia menguasainya, siswa tadi harus mengajarkan pengetahuan yang ia dapat kepada orang lain. Hal ini diharapkan agar siapapun yang belajar, akan terus mengembangkan pengetahuannya.
Dengan adanya ChatGPT, penjiplakan akan terus ada, akan terus berkembang, kecuali kita menanamkan nilai integritas dan kehormatan. Lebih dari itu memahami bahwa teknologi dibuat bukan untuk melakukan kecurangan, melainkan mempermudah kualitas hidup.