Tulisan Terbaru

Wawasan baru maupun tips

Mengapa Banyak Orang Memilih Jadi Anonim Di Media Sosial?

2021 lalu Parlemen Inggris sempat mewacanakan untuk melarang anonimitas di media sosial. Kebijakan ini merupakan respon terhadap pembunuhan David Ames, yang diduga merupakan hasil provokasi akun-akun anonim di media sosial. Meski polisi masih belum menemukan keterkaitan antara anonimitas dan pembunuhan David, wacana ini bergulir dan direspon sangat luas.

Perdana menteri Inggris saat itu, Boris Johnson menghadapi seruan untuk memberlakukan "David Law" rancangan undang-undang yang melarang pemakaian akun anonim di media sosial. Hal ini dibuat untuk menindak penyalahgunaan akun di media sosial dan mengakhiri anonimitas online setelah pembunuhan Sir David Amess. Lusinan anggota parlemen memberikan penghormatan di House of Commons.

David Ames sendiri adalah veteran Konservatif yang ditikam oleh teroris. Beberapa media di Inggris memanfaatkan kematiannya untuk membuat hukum yang lebih keras terhadap imigran dan memperparah islamofobia. Tapi mengapa anonimitas diserang dan diancam di sana?

Publik Inggris menyebut bahwa pelarangan anonimitas bukan solusi. Meskipun ada banyak contoh orang yang menggunakan akun media sosial anonim untuk melecehkan dan menghina orang lain secara online, ada orang yang menggunakan anonimitas untuk perlindungan. Anonimitas dapat menjadi penyelamat bagi banyak pengguna dan komunitas yang rentan.

Memposting secara anonim memungkinkan orang untuk melindungi diri mereka sendiri – untuk berdiskusi secara terbuka dan menangani topik yang rumit dengan aman. Ini dapat memungkinkan orang untuk berbicara tentang pelecehan, dan mencari informasi. Meski demikian kita tidak bisa menutup mata bahwa ada banyak kasus di mana anonimitas digunakan untuk melakukan perisakan.

Kelompok-kelompok rentan pengguna media sosial di komunitas LGBTQIA+ berbicara tentang pentingnya anonimitas online sebagai cara untuk menegosiasikan diskusi seksualitas dengan aman, di mana mengungkapkan nama mereka dapat menempatkan mereka pada risiko pelecehan dan bahaya yang signifikan secara online dan offline. Beberapa mengatakan anonimitas memungkinkan mereka mengakses informasi berharga secara online saat mereka menavigasi identitas mereka sendiri.

Banyak pengguna anonimitas di media sosial merupakan perisak. Data 2023 menyebut, 38 persen orang mengalami cyberbullying di platform media sosial setiap hari. Pelajar berkewarganegaraan asing mengalami lebih banyak cyberbullying daripada rekan mereka yang lahir secara lokal. Di berbagai pelosok dunia, cyberbullying adalah perhatian nomor satu bagi sekolah untuk diakhiri.

Contoh cyberbullying dapat mencakup melecehkan, mengancam, merendahkan, atau mempermalukan orang lain menggunakan platform online secara anonim, hal ini dilakukan untuk menghindari tanggung jawab. Dalam kasus yang paling ekstrim, statistik tentang intimidasi menunjukkan bahwa remaja yang menjadi korban memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri terkait cyberbullying.

Harry T Dyer, dalam penelitiannya tahun 2020, menemukan tentang desain dan identitas media sosial, peserta riset berbicara tentang banyak cara di mana mereka merasa anonimitas membantu mereka mengembangkan rasa kebersamaan. Seorang peserta membahas bagaimana hubungan sosial terbentuk melalui papan komentar dengan orang lain menggunakan nama samaran: "Saya tahu beberapa hal yang sangat pribadi tentang mereka semua, selain fakta bahwa saya tidak tahu nama mereka."

Sementara responden berbicara tentang insiden pelecehan online dari pengguna anonim, jelas bahwa anonimitas menyediakan jalan untuk membangun komunitas dan jaringan dukungan. Desakan untuk menggunakan identitas asli dapat menghadirkan hambatan dan tantangan bagi komunitas yang sudah terpinggirkan. Bagi mereka ini bukan sekadar risakan, tapi juga ancaman nyawa.

Tapi mengapa banyak perisak atau orang jahat menggunakan anonimitas? Sama seperti pengguna yang lain, anonimitas memberikan perlindungan. Kita tidak perlu bertanggung jawab secara langsung atas apa yang kita sampaikan, lebih dari itu perisak ingin membuat orang yang mereka sakiti bingung karena tidak berada di posisi yang sama.

Di ruang publik, diskusi yang setara dilakukan oleh dua orang yang memberikan pandangan atau pendapatnya. Setara dalam hal setiap pihak mengetahui identitas/wajah/sikap/pikiran dengan terbuka. Mereka tidak lari bersembunyi dari apa yang disampaikan dan mau menerima perbedaan pendapat yang ada. Anonim kadang menghindari hal ini karena mereka hanya mau menyakiti dan tidak mau bersikap setara.

Selain itu para perisak atau pembully di media sosial memanfaatkan anonimitas untuk menyerang. Mereka tidak sedang beradu argumen atau berdiskusi, tapi hanya ingin menyakiti atau membuat pihak lain bingung. Mereka tidak akan menerima sanksi atau hukuman jika membuat kesalahan. Kadang perasaan kebal dan tak tersentuh ini yang membuat anonimitas menjadi candu.

Untuk itu penting untuk membangun integritas. Bertanggung jawab atas apa yang disampaikan dan berkomitmen untuk bersetia pada pandangan diri sendiri. Media sosial merupakan dunia imajiner, sesuatu yang tidak nyata, untuk itu bertanggung jawab dengan bersikap jujur tanpa anonimitas akan membuat karakter kita berkembang.

Refactory

Refactory adalah pengaktif teknologi digital di Indonesia. Sejak didirikan pada 2015 di Surabaya dan membuka Bootcamp kelas pertama pada 2017 di Bandung, Refactory telah berkembang melebihi Bootcamp dengan menambah berbagai solusi untuk memberdayakan anak-anak muda Indonesia melalui pemrograman, serta membantu perusahaan di tingkat nasional maupun mancanegara untuk merealisasikan potensi mereka.

Kantor Utama di Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,8 Sleman, DI Yogyakarta 55581 - Indonesia

© 2017-2024 PT. BIXBOX TEKNOLOGI PERKASA. All rights reserved.