Tulisan Terbaru

Wawasan baru maupun tips

Benarkah Generasi Z Susah Bekerja Keras?

Sebuah studi terbaru yang berfokus pada individu berusia 16 hingga 25 tahun, umumnya dikenal sebagai Generasi Z, telah mengungkapkan kontradiksi menarik dalam sikap dan preferensi kerja mereka. Meskipun menganggap diri mereka sebagai generasi yang paling keras bekerja, mereka tidak bersedia mentoleransi pekerjaan yang dipaksakan dan lebih mengutamakan pilihan pribadi.

Secara mengejutkan, para individu digital ini juga mengungkapkan preferensi terhadap interaksi tatap muka di tempat kerja. Studi ini, yang dilakukan oleh The Workforce Institute di Kronos Inc., mengumpulkan wawasan dari lebih dari 3.000 anggota Generasi Z dari 11 negara.

Temuan penting adalah bahwa hampir sepertiga dari Generasi Z menganggap diri mereka sebagai generasi paling gigih dalam dunia kerja. Etika kerja ini memiliki akar dalam masa pembesaran mereka selama Resesi Hebat, di mana banyak dari mereka harus memberikan kontribusi finansial bagi keluarga mereka sejak usia dini.

Meskipun Generasi Z dikenal karena kecakapan digitalnya, mereka juga menunjukkan kecenderungan yang menuntut. Sekitar sepertiga dari mereka ingin memiliki pengaruh dalam jadwal kerja mereka, lebih dari sepertiga menolak pekerjaan yang dipaksakan atau permintaan liburan yang ditolak, dan sedikit di bawah sepertiga akan menolak bekerja dalam shift berurutan.

Menariknya, preferensi Generasi Z terhadap interaksi tatap muka kontradiktif dengan gagasan bahwa mereka sepenuhnya berorientasi pada dunia digital. Sekitar tiga dari empat dari mereka menganggap diri mereka sebagai "generasi digital," namun jumlah yang sama lebih suka berkomunikasi tatap muka untuk umpan balik dari manajer dan interaksi tim.

Meskipun percaya diri terhadap ketangguhan mereka, anggota Generasi Z menghadapi kecemasan terkait harapan kerja dan pencapaian kesuksesan. Sebagian besar dari mereka mengakui bahwa kecemasan menghambat kesuksesan pekerjaan mereka, dengan tingkat tertinggi teramati di Kanada, Inggris Raya, dan Amerika Serikat. Perlu diperhatikan bahwa kecemasan ini lebih banyak mempengaruhi responden perempuan daripada laki-laki.

Studi ini menyoroti sifat paradoks dari sikap kerja Generasi Z. Meskipun mereka mengadopsi etika kerja yang kuat dan memiliki kemampuan digital, mereka juga menekankan otonomi pribadi dan menghargai interaksi interpersonal yang langsung. Menyeimbangkan sifat-sifat ini dan mengatasi keprihatinan mereka, seperti kecemasan dan pengembangan keterampilan, akan menjadi kunci penting dalam mengelola dan melibatkan Generasi Z secara efektif dalam dunia kerja yang terus berkembang.

Pendapat bahwa Generasi Z (Gen Z) adalah generasi pemalas bisa jadi merupakan pandangan umum yang tidak sepenuhnya akurat. Pandangan ini mungkin muncul karena adanya perbedaan dalam perilaku dan preferensi antara Generasi Z dengan generasi sebelumnya, seperti Generasi Y (Millennials) atau Generasi X. Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan ini bersifat generalisasi dan mungkin tidak mencerminkan keadaan sebenarnya dari semua anggota Generasi Z.

Generasi Z tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan digitalisasi yang cepat. Meskipun teknologi ini membawa banyak kemudahan, beberapa orang mungkin menganggap bahwa ketergantungan pada perangkat digital dapat mengurangi produktivitas dan mengarah pada perilaku yang terlihat kurang aktif.

Generasi Z seringkali dianggap memiliki nilai, preferensi, dan prioritas yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka mungkin lebih menekankan keseimbangan hidup, pencarian makna, dan fleksibilitas dalam pekerjaan. Ini bisa diartikan sebagai kurangnya antusiasme terhadap pekerjaan tradisional yang dapat dianggap oleh beberapa orang sebagai sikap pemalas.

Namun, penting untuk menghindari generalisasi berlebihan dan mengakui keragaman dalam perilaku dan sikap di antara anggota Generasi Z. Banyak dari mereka yang memiliki semangat, dedikasi, dan komitmen terhadap tujuan pribadi dan profesional mereka. Pandangan negatif terhadap generasi tertentu sering kali tidak mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku individu.

Sumber: https://www.shrm.org/resourcesandtools/hr-topics/employee-relations/pages/gen-z-worries-about-work-skills.aspx

Refactory

Refactory adalah pengaktif teknologi digital di Indonesia. Sejak didirikan pada 2015 di Surabaya dan membuka Bootcamp kelas pertama pada 2017 di Bandung, Refactory telah berkembang melebihi Bootcamp dengan menambah berbagai solusi untuk memberdayakan anak-anak muda Indonesia melalui pemrograman, serta membantu perusahaan di tingkat nasional maupun mancanegara untuk merealisasikan potensi mereka.

Kantor Utama di Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,8 Sleman, DI Yogyakarta 55581 - Indonesia

© 2017-2024 PT. BIXBOX TEKNOLOGI PERKASA. All rights reserved.